Sunday 16 June 2013

obsesi sebuah naluri


sesungguhnya...
kepada insan yang pernah atau banyak atau selalu membantu aku atau menghulurkan pertolongan kepadaku ketika aku susah dan senang..apa yang aku boleh balas,adalah mendoakan kebaikan kamu..
mungkin aku tidak mampu balas pertolongan yang sama..janganlah sangka aku tidak mengenang budi..aku harap kamu tolong aku dahulu dengan seikhlas hati..dan tidak meminta apa balasan dari aku..
janganlah ada yang berkata.."dulu aku tolong dia..skang aku susah dia tak tolong pun"..
aku bukan tuhan..aku ada batas..aku akan pergi setakat mana yang aku mampu..aku hanya mampu mendoakan kamu berada di barisan hadapan ketika dihisab amalan kamu nanti..terima kasih kerana pernah menolong aku..
owh ye,dan satu lagi..disebabkan kamu pernah menolong aku ketika dahulu,jangan pula lakukan aku seperti anjing..seperti.."dulu aku penah tolong dia..so skang mesti die mesti ikot apa aku nak"
maaf,aku manusia..ada hati dan perasaan..kamu tidak ada?
aku tidak mahu sombong atas muka bumi ini,sebab aku akan tetap perlukan pertolongan seseorang suatu hari nanti..fitrah hidup saling memerlukan..tapi bukan diperlakukan :)
 sekian..

hati mati tawar tenggelam jauh ke dasar lautan


Sunday 9 June 2013

Berusahalah, Walaupun Hasilnya Tak Terjangka


"berusahalah..baru datang keajaiban

man kita agaknya bukan bongkah batu karang yang tegak kokoh
dia hidup bagai cabang menjulang dan dedaun rimbun
selalu tumbuh dan menuntut akarnya menggali kian dalam
juga merindukan cahaya mentari, embun, dan udara pagi

Kita masih bicara tentang iman. Dengan akarnya yang teguh, kita bergayut memelukkan keyakinan. Hunjamannya yang dalam menjadi pengokoh pijakan kaki. Kita berharap tak terusik dilanda badai. Kita tak ingin hanyut, tak hendak luruh dipukul rebut.

Tetapi iman itu kadang tergelisahkan. Atau setidaknya mengajarkan ketenangan yang mengguyuri hati, dengan terkuaknya keajaiban. Mungkin itu yang dirasakan Ibrahim ketika dia meminta kepada rabbnya untuk dtunjukkan bagaimana yang mati dihidupkan. Maka saat rabbnya bertanya, “Belum yakinkah engkau akan kuasaKu?”. Dia menjawab sepenuh hati, “Aku yakin. Hanya saja agar hati ini menjadi tenteram.”

Tetapi keajaiban itu tak datang serta merta di hadapannya. Meski Allah bisa saja menunjukkan kuasanya dalam satu kata “Kun!”, Kita tahu, bukan itu yang terjadi. Ibrahim harus bersusah payah untuk menangkap lalu mencincang empat ekor burung . Lalu disusurnya jajaran bukit-berbukit dengan lembah curam untuk meletakkan masing-masing cincangan. Baru dia bisa memanggilnya. Dan burung-burung itu mendatanginya segera.

Di sinilah rupanya keajaiban itu. Setelah kerja yang menguras tenaga.

Tetapi apakah selalu kerja-kerja kita yang akan ditaburi keajaiban.

Hajar dan bayinya telah ditinggalkan oleh Ibrahim di lembah itu. Sunyi kini menyergap kegersangan yang membakar. Yang ada hanya pasir dan cadas yang membara. Tak ada pepohonan tempat bernaung. Tak terlihat air untuk menyambung hidup. Tak tampak insan untuk berbagi kesah kerana lapar dan kehausan.

Maka Hajar pun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangis putra semata wayangnya. Ada dua bukit di sana. Dan dari ujung ke ujung cuba ditelisiknya dengan saksama. Tak ada. Sama sekali tak ada. Tapi dia terus mencari. Berlari. Bolak balik tujuh kali. Mungkin dia tahu, tak pernah ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada Allah. Sebagaimana telah ia yakinkan sang suami, “Jika ini perintah Allah, Dia tak akan menyia-nyiakan kami!”


Maka keajaiban itu memancar. Zamzam! Bukan. Bukan dari jalan yang dia susuri atau jejak-jejak yang dia torehkan di antara Shafa dan Marwa. Air itu muncul justru dari kaki Ismail yang bayi. Yang menangis. Yang haus. Yang mejejak-jejak. Dan Hajar pun takjub. Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita, mari belajar pada Hajar bahawa makna kerja keras itu adalah menunjukkan kesungguhan kita kepada Allah. Mari bekerja keras seperti Hajar dengan gigih, dengan yakin. Bahawa Dia tak pernah menyia-nyiakan iman dan amal kita. Lalu biarkan keajaiban itu datang dari jalan yang tak kita sangka atas iradahNya yang Maha Kuasa. 

Dan biarkan keajaiban itu menyenangkan hati ini dari arah manapun Dia kehendaki.

Bekerja saja. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga.

Di lintas sejarah berikutnya, datanglah seorang lelaki pengemban da’wah untuk menjadi ibrah. Dari Makkah dia berhijrah ke Madinah. Tak sesuatu pun kekayaan yang dia bawa dari kekayaan melimpah yang pernah memudahkannya. Dia Abdurrahman bin ‘Auf. Dan Rasulullah yang tahu gaya hidupnya di Makkah dan mempersaudarakannya dengan seorang lelaki Anshar kaya raya: Sa’d Ibnu Rani’.

Kita hafal kemuliaan kedua orang ini. Yang satu menawarkan membagi sama rata segala miliknya yang memang berjumlah dua; rumah, kebun kurma, dan bahkan isterinya. Yang satu dengan bersahaja berkata “Tidak Saudaraku. Tunjukkan saja jalan ke pasar! “

Dan kita tahu, dimulai dari semangat menjaga ‘izzah, tekadnya untuk mandiri, serta tugas suci menerjemahkan nilai Qur’ani di pasar Madinah, terbitlah kejaiban itu. ‘Abdurrahman ibn ‘Aufmemang datang ke pasar dengan tangan kosong, tapi dadanya penuh iman, dan akalnya dipenuhi manhaj ekonomi Qur’ani. Dinar dan dirham yang beredar di depan matanya dia pikat denga kejujuran, sifat amanah, kebersihan dari riba,timbangan yang pas, keadilan transaksi, transparansi dan akad-akad yang tercatat rapi.


Sebulan kemudian dia telah menghadap sang Nabi dengan baju baru, mewangi oleh tebaran minyak khaluq yang membercak-bercak. “Ya Rasulullah, aku sudah menikah!”, katanya dengan sesungging senyum. Ya, seorang wanita Anshar kini mendampinginya. Maharnya emas seberat biji kurma. Walimahnya dengan menyembelih domba. Satu hari, ketika 40,000 dinar emas dia letakkan di hadapan Sang Nabi, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi yang kau infaqkan juga yang kau simpan!”

Kita mengenalnya kini sebagai lelaki yang memasuki surga dengan merangkak.

Di mana titik mula keajaiban itu? Mungkin justru pada keberaniannya untuk menanggalkan segala kemudahan yang ditawarkan. Dalam fikiran kita, memulai usaha dengan seorang isteri, sebuah rumah tinggal, dan sepetak kebun kurma seharusnya lebih menjanjikan daripada pergi ke pasar dengan tangan kosong. Tetapi bagi ‘Abdurrahman ibn ‘Auf agaknya itu justru terlihat sebagai belenggu. Itu sebuah beban yang memberati langkahnya untuk menggapai kemuliaan yang lebih tinggi. Keajaiban itu datang dalam keterbatasan ikhtiar keras si tangan kosong. Bukan pada kelimpahan yang ditawarkan saudaranya.

Memulai dengan tangan kosong seperti ‘Abdurrahman ibn ‘Auf seharusnya menjadi penyemangat kita bahawa itu semua mudah. Mungkin dan bisa. Tetapi apakah kemudahan itu?

Suatu hari dalam perjamuan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, semua orang mencibir perjalanan Columbus menemukan dunia baru sebagai hal yang sebenarnya sangat mudah. Tinggal belayar terus ke barat. Lalu ketemu.

Christopher Columbus tersenyum dari kursinya. Diambil dan ditimangnya sebutir telur rebus dari piring di depannya.“Tuan-tuan,” suaranya menggelegar memecah ricuh bebisikan. "Siapa di antara kalian yang mampu memberdirikan telur ini dengan tegak?”

“Christopher.” Kata seorang tua, “itu adalah hal yang mustahil!”
Semua mengangguk mengiyakan.

“Saya bisa,” kata Columbus. Dia menyeringai sejenak kemudian memukulkan salah satu ujung telurnya sampai remuk. Lalu memberdirikannya.

“Oh… kalau begitu caranya, kami juga bisa!” kata seseorang. “ Ya… ya… ya… “, seru yang lain. Dan senyum Columbus makin lebar. Katanya, “Itulah bedanya aku dan kalian tuan-tuan! Aku memang hanya melakukan hal-hal yang mudah dalam kehidupan ini. Tetapi aku melakukannya di saat semua orang mengatakan bahawa hal mudah itu mustahil!”

Dalam dekapan ukhuwwah, bekerjalah, beramallah. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga. Mulailah. Kerana dalam keberanian memulai itu terletak kemudahannya. Bukan soal punya dan tak punya. Mampu atau tak mampu. Miskin atau kaya. Kita bekerja, kita beramal, kerana bekerja dan beramal adalah bentuk kesyukuran yang terindah. Seperti firmanNya

“ Bekerjalah hai keluarga Dawud, untuk bersyukur. Dan sedikit sekali di antara hambaKu yang pandai bersyukur” (Qs Saba’ [34]: 13)


andai si biji hanya menumbuhkan akarnya
 tanpa kehendak untuk tampil dengan batang
 menggapai langit dengan ranting cabang
 jadilah dia bangkai yang layaknya memang terkubur dalam-dalam

Ketika pun dunia dipenuhi maksud baik dan hati yang berbudi, maka yang membezakan manusia satu dengan yang lain adalah aksi dan amal mereka. Dan bumi menanti makhluk yang diamanahi pemakmurannya ini mengerjakan amal shalih, kerja-kerja ketaatan, dan laku-laku kebajikan.

Sebuah biji awal-awal menumbuhkan akar sebagai tempat berpijak sekaligus wasilah mengambil makanan. Lalu dengan itu dia menyeruakkan diri ke atas, bekerja keras membelah bumi dan tanah padas,untuk tampil di permukaan. Sejalan dengan akarnya yang kian menghujam,meneguhkan, dan mencerangkah makanan, batang dan daunnya semakin tegak meninggi. Dia membongsorkan pokoknya, menambah rerantingnya dan melebatkan daun-daunnya.

Itu semua adalah sunnatullah yang niscaya.

Maka amal shalih, kerja-kerja ketaatan, dan laku-laku kebajikan, kata Sayyid Qutb dalam Zhilal, adalah batang yang tumbuh tegak secara alami dari keimanan yang telah berakar dalam jiwa. Mereka adalah gerak yang bermula pada detik di mana hakikat keimanan itu menghunjam di dalam hati. Maka keimanan adalah hakikat yang aktif dan energik. Begitu hakikat keimanan menghunjam dalam nurani, maka pada saat itu pula ia bergerak mengekspresikan dirinya di luar dalam bentuk amal shalih.

Itulah iman islami! Tidak mungkin tinggal diam tanpa gerak, atau tersembunyi tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang dinamis di luar diri sang mukmin. Jika tak bisa melahirkan gerakan yang alami tersebut maka keimanan itu adalah palsu atau mati. Sama seperti bunga yang tidak bisa menahan semerbak wewangiannya. Ia pasti mucul secara alami. Jika tidak, bisa dipastikan wujud di dalamnya pun tiada!

“Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat amal-amal kalian itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.s. [9]:105)

Amal-amal itulah yang membuat kita menjulang, menggapai cakrawala yang luas dan mampu memberi naungan dengan rimbun daun-daun. Amal-amal itulah yang membuat kita dilihat dan berharga dihadapan Allah , rasulNya dan para peyakin sejati. Amal-amal itulah yang mengantarkan iman kita menggapai tempat di dekat ‘arsyNya yang mulia. Amal-amal itulah yang menghantarkan pinta dan doa kita ke haribaanNya.

Dalam dekapan ukhuwwah,mahfuuzhat masyhur itu begitu gugah. “Bekerjalah untuk duniamu,” demikian dikatakan, “seolah engkau akan hidup abadi. Dan beramallah untuk akhiratmu seakan engkau mati seok hari.” Dalam dekapan ukhuwwah, beramallah. Maka Allah, rasul dan orang-orang beriman akan melihat amal-amal kita dengan senyum dan bahagia…

saje repost balik artikel yang syamila tulis..aku jarang baca bende meleret..tapi yang ni captured my attention  ;)

"Kita bekerja, kita beramal, kerana bekerja dan beramal adalah bentuk kesyukuran yang terindah.."

sekian..